Saat Selera Setinggi langit, Tapi Lupa Ngaca

Pernahkah kamu mendengar seseorang (atau mungkin diri sendiri) mengeluh, “Kok susah banget ya cari pasangan yang pas?” atau “Ah, dia terlalu jelek buat aku. “

Seringkali, masyarakat melabeli orang yang lama melajang sebagai orang yang “terlalu pemilih”. Tapi, apakah menjadi pemilih itu salah? Bukankah kita berhak mendapatkan yang terbaik?

Jawabannya: Tentu saja berhak. Menetapkan standar itu penting agar kita tidak terjebak dalam hubungan yang toksik. Namun, ada garis tipis antara “punya standar” dan “delusi”.

Masalah muncul ketika definisi “pemilih” ini bergeser menjadi: Menginginkan kesempurnaan pada orang lain, tanpa sadar akan kapasitas dan kualitas diri sendiri.

Matematika Cinta yang Tidak Seimbang

Mari kita bicara jujur. Dalam dunia psikologi hubungan, ada yang namanya Hukum Pertukaran Sosial. Suka atau tidak, hubungan memiliki elemen “pasar”. Orang cenderung berpasangan dengan mereka yang memiliki “nilai tawar” setara. Baik itu dari segi karakter, fisik, kemapanan, maupun kecerdasan emosional.

Masalah “gak laku” seringkali bukan karena takdir yang kejam, tapi karena kalkulator ekspektasi kita yang rusak.

Bayangkan kamu punya anggaran untuk membeli motor bekas, tapi kamu ngotot hanya mau membawa pulang Ferrari terbaru. Apakah salah menginginkan Ferrari? Tidak. Tapi jika kamu marah-marah karena dealer Ferrari tidak melirikmu, itulah yang disebut kesenjangan hak (entitlement gap).

Terjebak di “Zona Hantu”

Orang yang seleranya selangit tapi enggan mematut diri sering terjebak dalam apa yang aku sebut sebagai “Zona Hantu”. Ini adalah posisi serba salah yang diciptakan sendiri:

  1. Mengejar yang “Sempurna”: Kamu mati-matian mengejar tipe idaman (skor 10/10). Masalahnya, si 10/10 ini biasanya juga mencari sesama 10. Bagi mereka, kamu mungkin tidak terlihat (invisible).
  2. Menolak yang “Setara”: Di sisi lain, ada orang-orang yang sebenarnya cocok dan setara denganmu (secara visi dan kualitas), tapi kamu tolak mentah-mentah karena merasa “Duh, dia kurang oke buat gue.”

Hasilnya? Kamu menolak yang mau, dan ditolak oleh yang kamu mau. Akhirnya, kamu sendirian.

Bahaya Merasa Diri Adalah “Hadiah Utama”

Ada bias psikologis bernama Dunning-Kruger Effect, di mana seseorang merasa kemampuannya jauh lebih tinggi dari kenyataannya. Dalam percintaan, ini berbahaya.

Seseorang bisa merasa dirinya adalah “hadiah utama” sehingga merasa tidak perlu memperbaiki diri (upgrade). “Terima aku apa adanya dong,” katanya. Padahal, dia menuntut pasangannya harus wangi, mapan, atletis, sabar, dan serba bisa. Tidak adil, bukan?

Jika terus dibiarkan, ini bukan cuma bikin susah dapat jodoh, tapi bisa bikin hati jadi pahit (bitter). Kita mulai menyalahkan lawan jenis: “Semua cowok sama aja”, “Cewek cuma pandang harta”, padahal mungkin kitalah yang sedang menargetkan pasar yang salah tanpa modal yang cukup.

Jadi, Harus Bagaimana?

Artikel ini bukan menyuruhmu untuk menurunkan standar sampai ke dasar. Bukan. Jangan pernah kompromi soal nilai-nilai fundamental seperti kejujuran, tanggung jawab, dan kebaikan hati.

Tapi, ini adalah ajakan untuk melakukan Mirror Check alias berkaca.

Rumusnya sederhana: Jadilah orang yang ingin kamu temui.

Hubungan yang sehat itu tentang keseimbangan (ekuilibrium). Kamu tidak bisa menuntut kesempurnaan dari orang lain sementara kamu merayakan kekuranganmu sendiri sebagai “jati diri”.

Jadi, sebelum swipe kiri lagi atau menolak kenalan baru karena alasan sepele, tanya dulu pada bayangan di cermin: “Apakah aku sudah pantas bersanding dengan orang yang aku impikan itu?”

Jika jawabannya belum, berhentilah menuntut, dan mulailah bertumbuh.