Ego Busuk di Balik Topeng Manis
Manusia adalah makhluk yang sangat kompleks dan penuh kontradiksi. Di satu sisi, ada individu yang melakukan hal-hal kejam seperti mempermainkan rasa cinta orang lain demi kesenangan. Di sisi lain, manusia juga adalah satu-satunya spesies yang mampu menunjukkan altruisme murni, cinta yang tulus, pengorbanan diri yang luar biasa, dan empati yang mendalam terhadap orang lain, bahkan yang tidak mereka kenal.
mempermainkan perasaan orang lain demi kesenangan pribadi adalah tindakan yang sangat egois dan menyakitkan. Sebuah bentuk manipulasi emosional yang menunjukkan kurangnya empati yang parah. Ketika seseorang dengan sengaja membangun harapan dan kepercayaan hanya untuk menghancurkannya, itu bisa meninggalkan luka emosional yang dalam dan membuat korbannya sulit untuk percaya lagi.
Fenomena ini telah aku amati dalam beberapa kasus, baik di media sosial maupun di kehidupan nyata. Ini adalah hal yang “umum” terjadi, dengan korban yang sering kali adalah laki-laki polos (walau tentu saja, ini juga menimpa wanita).
Dalam psikologi sosial, pola ini dikenal sebagai “predator-prey dynamic”, di mana pelaku (predator) secara insting atau sengaja mencari target (mangsa) yang mereka anggap memiliki kerentanan.
Mengapa “pria/wanita lugu yang dianggap tidak terlalu menarik” sering menjadi target?
- Kerentanan Emosional: Seseorang yang “lugu” (tulus, polos, atau kurang berpengalaman) cenderung lebih mudah percaya. Mereka tidak terbiasa mendeteksi kebohongan atau niat tersembunyi, sehingga mereka menerima perhatian dan kasih sayang yang ditawarkan secara tulus.
- Kebutuhan Validasi: Seseorang yang mungkin merasa insecure dengan penampilannya (tidak terlalu menarik) mungkin memiliki kebutuhan akan validasi yang lebih besar. Ketika seseorang datang dan memberikan perhatian yang belum pernah mereka dapatkan, itu bisa terasa sangat memabukkan. Mereka mungkin mengabaikan tanda-tanda bahaya (red flags) karena mereka sangat menginginkan perasaan divalidasi tersebut.
- Permainan Kekuasaan (Power Play): Bagi si pelaku, ini adalah inti “kesenangannya”. Mereka mendapatkan kepuasan dari melihat betapa mudahnya mereka bisa mengendalikan emosi orang lain. Memilih target yang mereka anggap “di bawah” mereka (baik secara sosial atau penampilan) memberi mereka rasa superioritas dan kontrol penuh.
- Risiko Rendah: Pelaku mungkin merasa target seperti ini tidak akan “melawan”, tidak punya banyak pilihan lain, atau tidak akan didengar jika mereka mengeluh. Ini adalah strategi pengecut yang dirancang untuk meminimalkan konsekuensi bagi si pelaku.
Sebuah contoh sempurna dari sisi kemanusiaan yang kejam, yang secara aktif mencari kerentanan hanya untuk dieksploitasi demi kepuasan sesaat.
Hal ini menimbulkan sebuah pertanyaan penting: apa yang sebenarnya rusak di dalam diri seseorang sehingga mereka butuh melakukan hal itu untuk merasa senang?
Jawabannya memiliki dua lapisan. Lapisan pertama adalah kerusakan psikologis di dalam diri si pelaku. Perilaku ini seringkali berakar dari rasa insecure (rendah diri) yang ekstrem atau kecenderungan narsistik. Karena mereka tidak merasa ‘cukup’ dengan diri mereka sendiri, mereka butuh validasi eksternal dengan cara ‘menaklukkan’ orang lain. Kesenangan mereka datang dari rasa berkuasa, bukan dari koneksi tulus.
Kerusakan internal ini kemudian bertemu dengan lapisan kedua: budaya sosial yang bukan hanya mempengaruhi, tapi menciptakan dan memberi penghargaan pada pola pikir tersebut.
Perasaan “unggul” (superior) yang dicari si pelaku itu tidak muncul dari ruang hampa. Itu adalah perasaan yang “divalidasi” atau disetujui secara tidak langsung oleh standar kesuksesan yang ada di masyarakat.
Misalnya:
1. Budaya Kompetisi (The “Game”)
Banyak budaya sosial modern, terutama di kalangan anak muda, membingkai interaksi romantis sebagai sebuah “permainan” atau kompetisi.
- Pria sebagai “Trofi”: Dalam skenario ini, si pelaku melihat pria lugu itu bukan sebagai manusia, tapi sebagai “trofi” atau “poin”.
- “Menang”: “Tujuannya tercapai” berarti dia “memenangkan” permainan. Dalam budaya yang terobsesi dengan menang-kalah, “menang” (walaupun dengan cara curang) secara otomatis diterjemahkan sebagai “unggul” atau “lebih baik” dari yang “kalah”.
2. Validasi Sosial (Status)
Rasa unggul ini menjadi lebih kuat ketika si pelaku menceritakan “kemenangannya” kepada teman-temannya.
- Jika lingkungan pertemanannya (budaya sosial mikro-nya) merespons dengan tawa, kekaguman (“Wah, hebat kamu bisa dapetin dia”), atau menganggapnya “keren” dan “pandai menaklukkan”, maka perilaku jahat itu mendapat penguatan positif.
- Budaya ini secara efektif mengatakan: “Menyakiti orang itu tidak masalah, yang penting kamu ‘menang’ dan mendapat status sosial sebagai ‘penakluk’ atau ‘heartbreaker’ yang populer.”
3. Objektifikasi dan Dehumanisasi
Media dan budaya populer sering melakukan objektifikasi, mengubah manusia menjadi objek hasrat atau target.
- Ketika seseorang diobjektifikasi, perasaannya menjadi tidak relevan.
- Budaya ini memudahkan si pelaku untuk berpikir: “Dia hanya ‘target’. Perasaannya bukan urusanku. Yang penting aku mendapatkan apa yang aku mau (kesenangan) dan membuktikan aku bisa.”
- Mereka merasa unggul bukan hanya dari si korban, tapi juga dari orang lain yang “tidak seberani” atau “tidak secerdik” mereka dalam “permainan” ini.
Kesimpulannya, lingkungan dengan budaya sosial yang kompetitif, yang menghargai status di atas empati, dan yang melakukan objektifikasi manusia, adalah bahan bakar utama yang membuat seseorang merasa “unggul” setelah mempermainkan perasaan orang lain.