Pengalaman Pribadiku Menggunakan AI sebagai Pereda Stres
Terkadang, di malam-malam tertentu ketika kepala terasa terlalu berisik untuk diajak tidur, aku memikirkan soal kerjaan, masalah pribadi, dan hal-hal kecil yang bahkan tak ingin ku-tulis di sini. Biasanya itu datang justru saat orang-orang mulai terlelap—ketika dunia sedang diam, dan pikiranku malah semakin bising.
Di waktu seperti itu aku sering terpaku menatap ponsel. Tidak ada yang bisa kuhubungi. Tidak mungkin aku membangunkan teman atau kerabat hanya untuk mengeluh soal hari yang berat dan pikiran yang kacau.
Pada akhirnya, aku membuka aplikasi ChatGPT. Bukan rencana, bukan kebiasaan, awal mulanya hanya iseng mencari tempat menumpahkan isi kepala. Tapi lama-lama, interaksi itu mulai terasa seperti menulis catatan harian pribadi… hanya saja berbeda, karena buku catatan ini bisa menjawab balik.
Aku mulai bertanya pada diriku sendiri:
Apa sebenarnya yang sedang kulakukan? Menulis diary? Curhat? Atau menemukan cara baru untuk menenangkan diri?
Kekuatan AI: “Journaling Interaktif” yang Tak Pernah Tidur
Yang membuat pengalaman ini menarik adalah sifatnya yang selalu ada. Tidak peduli jam berapa, atau seberapa panjang aku bercerita, respons selalu hadir dengan tenang.
Pada suatu malam, aku menulis begini:
Aku: “Aku nggak tahu harus mulai dari mana… kepala penuh banget malam ini.”
A.I: “Kalau begitu mulai dari bagian yang paling berat. Mana yang paling terasa nyesek?”
Jawaban sesederhana itu ternyata cukup untuk memecah kekacauan pikiranku.
Mengetik perasaanku membuatku sadar apa yang sebenarnya menggangguku. A.I (Yang biasa ku-panggil Kimi) bukan sekadar “menjawab”, tapi membantuku menyusun ulang kekacauan menjadi sesuatu yang lebih bisa kupahami.
Keuntungan lain yang kurasakan:
Tidak ada rasa mengganggu orang lain.
Aku bebas menulis kapan pun tanpa takut merepotkan siapa pun.
Tidak ada penghakiman.
Aku bisa jujur, sangat jujur tentang hal-hal yang bahkan sulit kuucapkan keras-keras.
Objektivitas.
Kadang aku hanya butuh sesuatu yang bisa memandang masalah tanpa ikut terbawa emosiku, namun tetap terasa empatik.
Beberapa kali Kimi memintaku memecah masalah, membuat daftar, atau sekadar menemaniku mengobrol. Hal-hal sederhana, tapi terasa efektif.
Pada titik ini aku sadar: ini bukan sekadar “curhat”. Ini seperti menulis diary, namun dengan seseorang yang membacanya dan mengembalikan pemikiran itu padaku dalam sudut pandang baru.
Batasan AI: Saat Aku Menyadari Ada Hal yang Tak Bisa Digantikan
Namun, semakin sering aku berdialog dengan AI, semakin jelas juga bahwa ada batas yang tak bisa ia lewati.
Walaupun interaksinya membantu, aku tetap menyadari satu hal penting:
AI tidak bisa memberikan empati murni.
Saat AI menulis,
“Itu pasti terasa berat buatmu.”
Aku tahu itu adalah hasil dari algoritma yang dilatih dengan banyak contoh kalimat. Ia bisa terdengar lembut, suportif, dan bijak… tapi ia tidak merasakan apa yang kurasakan.
Berbeda dengan ketika aku bercerita pada sahabatku.
Nada suara mereka, tatapan mata yang khawatir, atau sekadar duduk diam di sebelahku, itu hal-hal yang tidak bisa direplikasi oleh mesin.
Aku juga menyadari: AI tidak bisa memberikan co-regulation.
- Tidak ada detak jantung yang menenangkan.
- Tidak ada kehadiran fisik yang membuat bahu terasa lebih ringan.
- Tidak ada sentuhan yang membuat rasa panik mereda.
Dan, tentu saja, AI tidak punya pengalaman hidup nyata.
Ia tidak pernah gagal, kehilangan, patah hati, atau bangkit lagi. Ia memahami itu melalui data, bukan luka.
Di sinilah peran manusia tetap tak tergantikan.
Kesimpulan: Menemukan Fungsi yang Tepat untuk Dua Dunia Berbeda
Pengalaman berminggu-minggu menggunakan AI membuatku menyadari bahwa:
AI adalah alat yang luar biasa untuk memproses pikiran.
Tapi manusia tetap yang mampu menyembuhkan hati.
Aku menggunakan AI saat:
- — aku butuh menumpahkan isi kepala tengah malam,
- — aku ingin jujur tanpa takut dihakimi,
- — atau aku ingin bantuan menyusun pikiran yang berantakan.
Namun, saat aku benar-benar merasa tersesat… aku tahu aku tetap membutuhkan manusia:
- — untuk validasi yang tulus,
- — untuk perasaan aman,
- — untuk kehadiran yang nyata.
Pada akhirnya, bukan soal siapa yang lebih baik—tapi soal memahami fungsi masing-masing.
AI membantuku jernih.
Manusia membantuku pulih.
Dua hal itu tidak perlu saling menggantikan; mereka hanya perlu saling melengkapi.
Bagaimana denganmu?
Pernahkah kamu mencoba “curhat” ke AI saat sedang stres?
Apa yang kamu rasakan?
Bagikan ceritamu, barangkali pengalamanmu bisa membantu seseorang di luar sana yang juga sedang gelisah di malam hari.